Judul: Aku Menjaga Jarak Agar Tak Terluka, Tapi Tetap Saja Berdarah
Kabut pagi menyelimuti danau Jiàn Hú, seputih kain kafan yang membungkus rahasia. Di tengah kabut itu, Li Wei, seorang pelukis dengan tatapan dingin dan senyum yang jarang menyentuh matanya, melukis. Dia melukis keindahan yang palsu, keindahan yang dia ciptakan sendiri untuk menutupi luka menganga di hatinya.
Li Wei hidup dalam kebohongan. Identitasnya adalah topeng. Keluarga angkatnya adalah sandiwara. Dan cintanya... adalah pengkhianatan.
Di sisi lain, berdiri Mei Lan. Seorang gadis desa yang sederhana, berhati tulus, dan bertekad untuk mengungkap kebenaran. Kebenaran tentang kematian keluarganya, kebenaran tentang warisan yang dicuri, kebenaran tentang pria bernama Li Wei yang selalu menghantuinya dalam mimpi.
Mei Lan seperti embun pagi, jernih dan polos. Tapi di balik kepolosannya, tersembunyi baja yang ditempa oleh penderitaan. Ia mencari kebenaran, meski kebenaran itu akan menghancurkannya.
"Jauhkan dirimu dariku, Mei Lan," bisik Li Wei suatu malam di bawah rembulan pucat. "Aku akan menyakitimu."
Mei Lan mendongak, menatap mata Li Wei yang sedalam jurang. "Kau sudah menyakitiku, Li Wei. Kebohonganmu melukai lebih dalam dari pedang manapun."
Li Wei memalingkan wajahnya. Kata-kata Mei Lan adalah cermin yang memantulkan kebusukan dalam dirinya. Dia menjaga jarak agar Mei Lan tidak terluka oleh kebohongannya, tapi setiap detik bersamanya, setiap tatapan, setiap sentuhan, justru menusuknya lebih dalam.
Dinamika mereka adalah tarian yang menyakitkan. Li Wei membangun dinding tinggi-tinggi, tapi Mei Lan dengan gigih meruntuhkannya, satu demi satu. Li Wei mencoba melindunginya dari kebenaran, tapi Mei Lan justru semakin mendekat, tertarik seperti ngengat pada api.
Konflik memuncak saat Mei Lan menemukan surat-surat lama yang mengungkap identitas asli Li Wei. Dia bukan hanya pelukis biasa, tapi putra dari musuh bebuyutan keluarganya, orang yang bertanggung jawab atas kematian mereka!
Dunia Mei Lan runtuh. Kebenaran itu terlalu pahit, terlalu kejam untuk ditelan.
"Kau... kau..." Mei Lan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Air mata mengalir di pipinya seperti sungai.
Li Wei tidak membantah. Dia tahu ini akan terjadi. Dia tahu kebenaran akan selalu menemukan jalannya.
"Aku minta maaf," bisiknya, suaranya parau.
"Maaf?" Mei Lan tertawa getir. "Maaf tidak akan menghidupkan kembali keluargaku. Maaf tidak akan mengembalikan kepercayaanku."
Mei Lan berjalan menjauh, meninggalkan Li Wei yang berdiri terpaku di bawah hujan yang mulai turun.
Waktu berlalu. Mei Lan menghilang. Li Wei mencarinya ke seluruh penjuru negeri, tapi sia-sia.
Suatu hari, Li Wei menerima undangan ke sebuah pameran seni di ibukota. Pameran itu menampilkan lukisan-lukisan seorang seniman misterius yang dikenal sebagai "Bayangan Dendam."
Li Wei pergi ke pameran itu. Di sana, dia melihat lukisan-lukisan yang membuatnya merinding. Lukisan-lukisan itu menggambarkan kebohongan, pengkhianatan, dan dendam yang membara.
Di tengah kerumunan, Li Wei melihat Mei Lan. Dia berdiri di depan salah satu lukisannya, tersenyum tipis.
Mei Lan menatap Li Wei, matanya dingin dan penuh perhitungan. Dia mengangguk hormat, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Li Wei yang terpaku di tempatnya.
Itulah balas dendam Mei Lan. Bukan dengan pedang, bukan dengan teriakan, tapi dengan senyuman yang menyiratkan perpisahan abadi. Dia menghancurkan Li Wei dengan cara yang paling menyakitkan: dengan menghapus dirinya dari kehidupannya.
Li Wei ditinggalkan sendirian, dikelilingi oleh kebohongan yang telah dia bangun sendiri. Dan dalam keheningan itu, dia mendengar bisikan Mei Lan: "Apakah kau benar-benar berpikir ini adalah akhir dari cerita kita?"
You Might Also Like: Best Animal Experiences Uk Top Animal