Embun pagi merayapi kelopak mawar di paviliun yang tenang. Di sana, Lin Mei berdiri, gaun sutranya berkilauan senada dengan sungai di bawahnya. Namun, matanya, sekelam malam tanpa bintang. Ia, sang pewaris tunggal Dinasti Lin yang Agung, hidup dalam kepalsuan. Sebuah KEBOHONGAN yang dipahat di hatinya sejak ia masih seorang gadis kecil.
Di sisi lain, berdiri Xiao Feng, seorang cendekiawan muda dengan mata setajam elang. Ia kembali ke Dinasti Lin bukan untuk kehormatan, bukan pula untuk kekayaan, melainkan untuk KEBENARAN. Kebenaran tentang kematian keluarganya, yang ia yakini disembunyikan oleh Dinasti Lin, yang ia yakini dilindungi oleh senyum manis Lin Mei.
"Xiao Feng, angin pagi ini mengingatkanku pada masa kecil kita," sapa Lin Mei, suaranya semanis madu.
"Ya, Putri Lin. Angin juga mengingatkanku pada janji yang tak ditepati," balas Xiao Feng, tatapannya menusuk seperti jarum.
Permainan dimulai.
Lin Mei berusaha menutupi kebenaran dengan jaring-jaring kepalsuan yang ia rajut dengan lihai. Ia menggunakan pesona, kekuasaan, bahkan air mata. Namun, Xiao Feng tak gentar. Ia menelusuri setiap lorong istana, setiap bisikan angin, setiap remah sejarah yang tersembunyi. Ia seperti laron yang sabar menggerogoti kayu lapuk, sedikit demi sedikit, hingga fondasi kebohongan itu mulai retak.
Konflik demi konflik meletus. Pertemuan mereka selalu dipenuhi dengan kata-kata manis yang menyimpan racun. Lin Mei berusaha menjerat Xiao Feng dengan cintanya yang semu, sementara Xiao Feng menggali semakin dalam, menemukan bukti-bukti yang MENGHANCURKAN.
Semakin dekat Xiao Feng dengan kebenaran, semakin terdesak pula Lin Mei. Ia mulai melakukan kesalahan. Kepanikan membuatnya kehilangan kendali. Pada suatu malam berbadai, Xiao Feng menemukan surat wasiat yang disembunyikan di balik lukisan kaisar. Surat itu berisi pengakuan dosa mendiang kaisar, ayah Lin Mei. Ia mengakui telah memerintahkan pembantaian keluarga Xiao demi melanggengkan kekuasaan.
DUAR! Kebenaran menghantam Xiao Feng seperti petir. Hatinya hancur berkeping-keping.
Keesokan harinya, Xiao Feng menghadap Lin Mei di taman bunga. Ia membawa surat wasiat itu.
"Putri Lin, ini…" Xiao Feng menunjuk surat wasiat itu. "Kebenaran yang selama ini kau sembunyikan."
Lin Mei terdiam. Air matanya mengalir deras. Ia tak membantah. Ia tak berbohong lagi.
"Xiao Feng… aku tahu… aku tahu semuanya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," bisiknya. "Aku adalah sandera dari dinasti ini."
Xiao Feng menatap Lin Mei dengan dingin. Ia tak percaya lagi dengan air mata buaya. Ia telah memutuskan.
"Balas dendam," gumamnya. "Balas dendam akan datang, Putri Lin. Bukan dengan pedang, bukan dengan darah. Tapi dengan KEHANCURAN yang perlahan dan menyakitkan."
Xiao Feng meninggalkan Dinasti Lin tanpa menoleh ke belakang. Ia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, sebelum kepergiannya, ia menyebarkan salinan surat wasiat itu ke seluruh penjuru negeri.
Lin Mei tetap menjadi Putri Lin. Ia tetap memimpin Dinasti Lin. Namun, kekuasaannya rapuh. Rakyatnya mulai meragukan legitimasi dinasti mereka. Ekonomi runtuh. Pemberontakan terjadi di mana-mana. Lin Mei menyaksikan dinasti yang dibangun ayahnya hancur lebur di depan matanya.
Inilah balas dendam Xiao Feng. Sebuah kehancuran yang lebih dahsyat daripada kematian. Sebuah hukuman yang lebih berat daripada siksaan.
Bertahun-tahun kemudian, Lin Mei ditemukan meninggal dunia di paviliun yang sama tempat ia pertama kali bertemu Xiao Feng. Di tangannya tergenggam sehelai benang sutra merah, terikat pada kelopak mawar putih.
Lin Mei tersenyum. Senyum yang menyimpan PERPISAHAN.
Apakah Xiao Feng merasakan kehancuran yang sama seperti Lin Mei?
You Might Also Like: Full Drama Pelukan Yang Mengikat Dendam
0 Comments: