Kau Menatapku dari Kejauhan, Tapi Jarak Itu Lebih Tajam dari Pedang
Hujan gerimis membasahi atap paviliun, serupa air mata langit yang menyaksikan takdir kami. Aku, Li Wei, berdiri di sini, menatap punggungnya. Zhou Lin, saudara seperguruanku, sahabatku, musuhku? Jarak di antara kami mungkin hanya beberapa langkah, tapi terasa seperti membentang melintasi jurang tak berdasar. Matanya memang tak menatapku, namun aku tahu, dia menyadari kehadiranku.
Dulu, kami tumbuh bersama di kaki Gunung Lian. Bersama mengasah pedang, bersama berbagi mimpi tentang membela keadilan. Zhou Lin selalu lebih unggul dariku, lebih tenang, lebih bijaksana. Aku iri padanya, tapi juga mengaguminya. Kami adalah dua sisi koin, tak terpisahkan. Atau begitulah yang kukira.
"Kau datang," gumamnya tanpa berbalik. Suaranya dingin, tanpa kehangatan yang dulu selalu menemaniku.
"Aku harus datang," jawabku, menggenggam erat pedangku. "Untuk mengetahui kebenaran."
Sejak malam itu, malam ketika Guru Agung terbunuh, segalanya berubah. Bisik-bisik pengkhianatan beredar bagai kabut beracun. Tuduhan diarahkan padaku, namun hatiku tahu, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.
Zhou Lin berbalik, senyum tipis menghiasi wajahnya. Senyum yang dulu menenangkan, kini terasa bagai topeng.
"Kebenaran? Li Wei, kau terlalu naif. Kebenaran adalah apa yang orang percaya."
"Kau tahu siapa pembunuhnya, bukan?" desakku. "Katakan padaku! Demi persahabatan kita!"
Dia tertawa, tawa tanpa humor, tawa yang membuat bulu kudukku meremang.
"Persahabatan? Kau pikir kita pernah benar-benar bersahabat? Aku selalu membencimu, Li Wei. Kebolehanmu, dukungan Guru Agung padamu, segala-galanya!"
Kata-katanya menghantamku bagai pukulan palu. Kebencian... selama ini dia memendam kebencian sedalam ini? Tapi kenapa?
"Kenapa?" tanyaku lirih, suaraku bergetar.
"Karena akulah putra sah dari mendiang Guru Agung! Tapi Guru lebih memilihmu sebagai pewaris sekte. Kau merebut hakku! Aku pantas mendapatkan segalanya yang kau miliki!"
Pengakuan itu bagai pedang yang menusuk jantungku. Jadi, ini semua tentang kekuasaan? Tentang warisan?
"Kau... kau membunuh Guru?"
Zhou Lin menyeringai. "Aku hanya mempercepat takdirnya. Dia terlalu buta untuk melihat kebenaran. Dan sekarang, aku akan memastikan kau juga akan melihat kebenaran itu, sebelum kau mati."
Pertarungan dimulai. Gerakan kami bagai tarian kematian, diiringi rintik hujan yang semakin deras. Setiap tebasan pedang adalah jeritan rasa sakit, setiap tangkisan adalah desahan penyesalan. Kami dulu adalah saudara, kini kami saling mengincar nyawa.
Aku terluka, darah mengalir membasahi jubahku. Aku tahu, akhirku sudah dekat. Tapi aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mengungkap kebenaran ini.
Dengan sisa kekuatanku, aku menusuk Zhou Lin. Dia terhuyung mundur, matanya membulat karena terkejut.
"Bagaimana...?"
"Aku... sudah menduganya," bisikku, batuk darah. "Kau terlalu pintar untuk meninggalkan jejak. Tapi kau lupa, hati seorang sahabat tidak pernah bisa dibohongi."
Zhou Lin jatuh berlutut, dadanya berlumuran darah.
"Aku... aku tidak menyesal," gumamnya, suaranya melemah. "Aku akan melakukan semuanya lagi."
Dia menatapku, matanya dipenuhi kebencian yang membara. Lalu, dia menghembuskan nafas terakhir.
Aku terhuyung, tubuhku terasa ringan. Hujan semakin deras, membasuh darah dari tubuh kami. Kebenaran terungkap, tapi apa gunanya? Aku juga akan mati.
Aku menatap langit, melihat tetesan hujan yang jatuh bagai air mata.
"... Aku hanya ingin kau mempercayaiku."
You Might Also Like: Disenada Por Big Bjarke Ingels Group Y
0 Comments: