Aku Menjadi Screenshot Di Galeri Barunya
Hujan abu mengecup Kota Langit, sama halnya dengan kenangan yang menghiasi relung hatiku. Dulu, di bawah langit yang sama, aku dan Li Wei tumbuh bersama. Saudara seperguruan, teman sepermainan, sekutu dalam setiap intrik istana. Kita mengasah pedang bersama, merancang strategi, dan saling bersumpah setia di bawah pohon sakura yang kini hanya tinggal kenangan pahit.
"Wei, langit ini begitu luas, bukan? Cukup untuk kita berdua menaklukkannya," ujarku dulu, polos dan penuh harapan.
Dia tersenyum, tipis namun menawan. "Tentu, Xiao Zhan. Bersamamu, langit pun akan menjadi milik kita."
Kata-kata itu terngiang, bagai mantra mematikan.
Waktu berlalu. Kami berdua menjadi pilar kerajaan, masing-masing dengan kekuatan dan pengaruh yang tak tertandingi. Aku, sang jenderal perang yang gagah berani. Dia, penasihat kerajaan yang cerdik dan penuh perhitungan. Rakyat memuja, musuh gentar. Namun, di balik senyum dan pujian, benih kebencian mulai tumbuh.
"Xiao Zhan, kau terlalu bersinar. Cahayamu membutakan," bisiknya suatu malam, di tengah pesta kemenangan. Matanya menyiratkan sesuatu yang tak kumengerti.
Aku tertawa. "Itu karena kau selalu berada di sisiku, Wei. Kau adalah penopangku."
Permainan pisau dimulai. Setiap kata menjadi senjata, setiap tatapan menjadi teka-teki. Ada rahasia yang disembunyikan, sesuatu yang membuat hatiku berdebar tak karuan. Siapa yang mengkhianati siapa? Pertanyaan itu terus menghantuiku.
Misteri itu perlahan terkuak ketika aku menemukan surat yang tertulis dengan tangan Wei. Surat untuk Kaisar. Di dalamnya, tertulis rencananya untuk menjebakku, menuduhku berkhianat, dan merebut semua yang kumiliki. Alasan dia? Ambisi yang membara, keinginan untuk menjadi yang terkuat, dan... cinta yang terpendam.
"Aku selalu mencintaimu, Xiao Zhan. Tapi kau terlalu lurus, terlalu setia. Kau tidak akan pernah memilihku."
Pengkhianatan itu menusuk lebih dalam dari pedang mana pun. Aku ditangkap, dipenjara, dan dijatuhi hukuman mati. Di saat-saat terakhirku, aku melihat Wei di antara kerumunan. Dia tersenyum, puas dan dingin. Dia mengeluarkan jimat kecil dan memotretku.
"Ini akan menjadi kenangan indah, Xiao Zhan. Aku akan selalu mengingatmu, sebagai bukti kekuatanku."
Aku mengerti. Aku bukan lagi sahabat, bukan lagi saudara. Aku hanyalah screenshot di galeri barunya, bukti kemenangan dan ambisinya yang tak terpuaskan.
Kebenaran yang MENYAKITKAN terungkap. Ternyata, aku hanyalah pion dalam permainannya. Selama ini, dia menggunakan persahabatan kami sebagai senjata. Dia mengorbankan segalanya demi kekuasaan, bahkan hatinya sendiri.
Namun, balas dendam itu tak terhindarkan. Sebelum algojo menebas leherku, aku tersenyum. Aku tahu, rencanaku sudah berjalan. Aku telah menanamkan benih keraguan di hati Kaisar tentang Wei. Dan cepat atau lambat, dia akan merasakan pedihnya pengkhianatan yang sama.
"Kau akan menyesal, Wei. Ambisimu akan memakanmu hidup-hidup," bisikku dalam hati.
Saat kegelapan merenggutku, aku tahu bahwa kematianku hanyalah awal dari kehancurannya.
Dia memotretku. Senyumnya sinis. Kemudian algojo itu menarik pedangnya.
Dan dia tidak tahu... bahwa screenshot itu sudah terkirim ke orang yang tepat.
You Might Also Like: Reseller Skincare Passive Income Kota
0 Comments: