Hujan menggigil di Lembah Bunga Teratai, sama dinginnya dengan tatapan yang diberikan Mei Lan pada pria di hadapannya. Dulu, tatapan itu penuh kehangatan, cinta yang membara bagai mentari pagi. Sekarang, hanya ada es.
Li Wei, berdiri di bawah payung usang, bayangannya patah dan memanjang di tanah basah. Cahaya lentera yang digenggamnya nyaris padam, serupa dengan harapan yang pernah ia tanam dalam hati Mei Lan. Dulu, ia memanggilnya "Matahariku". Sekarang, ia hanya melihat KEBENCIAN.
"Mei Lan..." bisiknya, suaranya serak tertelan gemericik hujan. "Aku tahu... aku pantas menerima ini."
Mei Lan tertawa hambar. Tawa yang tidak sampai ke matanya. Mata itu, dahulu seindah danau di musim semi, kini bagai jurang yang dalam dan gelap. "Pantas? Kau tahu, Li Wei, pantas adalah kata yang sangat ringan untuk sebuah pengkhianatan yang menghancurkan seluruh duniaku."
Lima tahun lalu, Li Wei, tunangannya, calon suaminya, pewaris takhta Kekaisaran Timur, telah menikahi Putri Lan Fang, demi aliansi politik yang menjanjikan kemakmuran. Mei Lan, putri seorang tabib desa, ditinggalkan, terluka, dan terhina.
"Aku melakukannya untuk kebaikan negara, Mei Lan. Aku tidak punya pilihan!" Li Wei memohon, wajahnya pucat pasi diterpa angin malam.
"Pilihan?" Mei Lan maju selangkah, mendekat hingga aroma pahit anggur beras yang diminum Li Wei menusuk hidungnya. "Kau selalu punya pilihan, Li Wei. Kau hanya memilih yang paling menguntungkan untukmu."
Mereka berdiri dalam keheningan yang berat. Hujan semakin deras, seolah alam pun ikut menangisi nasib mereka. Mei Lan memandang Li Wei, melihat jejak penyesalan di matanya. Penyesalan yang terlambat.
Selama lima tahun, Mei Lan hidup dalam bayang-bayang. Orang-orang mengira ia hanya seorang wanita desa yang patah hati. Mereka tidak tahu, di balik senyumnya yang tenang, di balik ketenangannya yang menipu, ia merajut rencana. Rencana yang rumit, terencana dengan sempurna, dan akan segera membuahkan hasil.
"Kau pikir aku hanya berdiam diri, meratapi nasibku?" bisik Mei Lan, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Kau salah, Li Wei. Aku menggunakan setiap tetes air mata, setiap detik kesakitan, untuk mempersiapkan ini. Kerajaanmu... kejayaanmu... semua yang kau miliki... akan menjadi debu di tanganku."
Li Wei menatap Mei Lan dengan ngeri. Ia baru menyadari, wanita di hadapannya bukan lagi Mei Lan yang dulu ia kenal. Ia adalah iblis yang menyamar.
Mei Lan tersenyum. Senyum yang mengerikan. "Kau tahu, Li Wei... Mahkota yang sebenarnya... ada di tangan orang yang paling tahu cara menyembunyikan luka. Dan lukaku... jauh lebih dalam dari yang kau bayangkan."
Ia berbalik, meninggalkan Li Wei berdiri terpaku di bawah hujan.
Dan saat itulah, Li Wei menyadari, bahwa selama ini, anak yang dilahirkan Putri Lan Fang bukanlah darah dagingnya.
You Might Also Like: Jual Skincare Untuk Ibu Hamil Dan
0 Comments: