Kabut lavender menyelimuti Kota Bunga, aroma Gui Hua yang semerbak menusuk kalbu. Aku, Lin Wei, merasakan debaran aneh, seolah ingatan samar berusaha menerobos tirai kesadaran. Setiap langkah di paviliun kuno ini terasa familiar, namun wajah-wajah di sekitarku asing bagai mimpi buruk.
Aku adalah seorang mahasiswi seni rupa biasa, tetapi mimpi-mimpiku dipenuhi adegan peperangan berdarah, kain sutra merah, dan sepasang mata gelap penuh pengkhianatan. Mereka bukan hanya mimpi. Mereka adalah bayangan kehidupan sebelumnya, kehidupan seorang Permaisuri, Li Hua, yang mati di tangan orang yang paling dipercayainya.
Perlahan, potongan-potongan puzzle masa lalu mulai menyatu. Kalung giok berbentuk naga yang selalu kupakai, sebuah replika dari milik Li Hua. Lagu seruling yang sering kudengar, melodi yang sama dengan yang dimainkan kaisar untuknya setiap malam. Dan tatapan pria itu… Chen Yi. Dosen sejarahku. Tatapannya penuh kerinduan, namun terselip sesuatu yang gelap.
Suatu sore, di bawah pohon Sakura yang sedang gugur, Chen Yi menceritakan sebuah legenda. Legenda tentang seorang kaisar yang dikhianati permaisurinya, dan bagaimana ia bersumpah untuk membalas dendam di kehidupan selanjutnya. Aku terpaku. Legenda itu… itu adalah hidupku.
"Kau tahu, Lin Wei," bisiknya, suaranya berat. "Beberapa takdir memang tidak bisa dihindari. Pengkhianatan harus dibalas, bukan begitu?"
Aku menatap matanya, mencoba mencari kebenaran. Di sana, tersembunyi di balik kerinduan dan penyesalan, aku melihat kilatan pengakuan. Dia adalah kaisar itu. Dan di kehidupan ini, dia menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam.
Tapi aku bukanlah Li Hua yang dulu. Aku punya pengetahuan tentang masa depan, tentang takdir yang bisa diubah.
"Dendam adalah rantai yang mengikat," kataku, suaraku tenang namun penuh tekad. "Lebih baik memutusnya daripada meneruskannya."
Keputusan telah kubuat. Aku akan menggunakan pengetahuanku untuk mengubah takdirku, untuk membebaskan kami berdua dari belenggu masa lalu. Aku akan memaafkannya, bukan demi dirinya, tapi demi kedamaian diriku sendiri.
Pada malam festival lampion, aku menghampirinya di tepi sungai. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahayanya di air yang tenang.
"Chen Yi," kataku, sambil menyerahkan lampion berbentuk naga. "Terima kasih atas segala yang telah kau ajarkan."
Dia menerimanya dengan tangan gemetar. "Apa maksudmu?"
Aku tersenyum. Senyum yang tulus, tanpa kebencian. "Tidak ada lagi Li Hua. Hanya Lin Wei. Dan aku memilih untuk memaafkan."
Aku mendekat dan memeluknya. Pelukan yang hangat, pelukan perampasan dendam. Pelukan yang kupersembahkan sebagai balasan.
Dan saat melepaskan pelukan itu, aku tahu. Dia telah kehilangan permainan ini.
Di kehidupan selanjutnya, kita akan bertemu lagi, dan mungkin... segalanya akan berbeda... Mungkin.
You Might Also Like: Reseller Kosmetik Modal Kecil Untung_27
0 Comments: